Selasa, 01 Mei 2012

Istihsan


Istihsan 
 A.   Istihsan
1.      Pengertian Istihsan

Istihsan menurut bahasa adalah memperhitungkan sesuatu lebih baik. Banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama’ dalam mendefinisikan istihsan. Diantaranya:
·         Menurut Ibn Subki Istihsan adalah:
Beralih dari penggunaan satu qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat dari qiyas pertama. Definisi ini tidak diperdebatkan karena yang didahulkan adalah qiyas yang terkuat.
Atau beralih dari dari penggunaan sebuah dalil kepada adat kebiasaan karena suatu kemaslahatan. Dalam bentuk seperti ini berlaku bila adat istiadat itu baik pada masa Nabi dan sesudahnya, tanpa adanya penolakan dari nabi dan lainnya. Tentu ada dalil pendukungnya, baik dalam bentuk nash atau ijmak. Dalam bentuk seperti ini harus diamalkan secara pasti. Namun jika tidak terbukti benar maka tidak harus diamalkan.[1]
·         Istihsan menurut Ulama Malikiyah adalah:
Menggunakan kemaslahatan yang bersifat juz’i sebagai pengganti dalil yang bersifat kulli. Mujtahid dalam menetapkan hukum berdasarkan dalil yang bersifat umum, namun dalam keadaan tertentu mujtahid melihat adanya dalil khusus maka Ia lebih menggunakan dalil khusus tersebut.
·         Istihsan menurut Ulama’ Hanabilah;
Beralihnya Mujtahid dalam menetapkan hukum terhadap satu masalah dari yang sanding dengan itu karena adanya dalil kusus dalam al-Qur’an atau sunnah.
·         Dari kalangan hanafiyah, Istihsan adalah:
Beramal dengan ijtihad dalam menentukan suatu syara’ yang menyerahkannya kepada pendapat kita.
            Dari beberapa definisi ulama’ diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Istihsan adalah seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad untuk menemukan dan menetapkan hukum tidak jadi menggunakan suatu dalil, baik dalil itu dalam bentuka qiyas, hukum kulli,atau kaidah umummnya, namun sebagai gantinya  mujtahid menggunakan dalil lain yang dinilai lebih kuat, atau nash yang ditemukannya, ’urf  yang berlaku, keadaan dhorurot, atau hukum pengecualian.
2.      Macam-Macam Istihsan
Istihsan dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan:
a.       Beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas dhohir pada yang dikehendaki oleh qiyas khafi. Contoh: mewakafkan tanah yang didalamnya terdapat sumber air dan jalan.
b.      Beralih dari apa yang dituntut oleh nash yang umum pada hukum yang bersifat khusus, Contoh: penerapan sanksi hukum terhadap pencuri.
c.       Tuntutan hukum kulli pada tuntutan yang dikehendaki hukum pengecualian. Contoh: wakaf yang dilakukan oleh orang yang belum dewasa.[2]

Istihsan ditinjau dari segi sandaran:
a.       Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi. dalam arti mujtahid meninggalkan qiyas pertama karena ia melihat bentuk qiyas yang lain meskipun qiyas yang lain tersebut memiliki kelemahan, tapi dari segi lain terdapat kemaslahatan lebih tinggi. Istihsan ini disebut istihsan qiyas. Contoh: penetapan hukum bersih tidaknya air yang bekas jilatan burung buas seperti gagak dan elang,tidak ada nash syara’ yang menyebutkan hukumnya. Namun dalam kasus ini, cara yang biasa ditempuh ulama’ adalah melalui qiyas,jadi air tersebut berhukum bersih karena diqiyaskan pada air bekas jilatan burung biasa.
b.      Istihsan yang sandarannya adalah nash. Mujtahid dalam menetakan hukum tidak menggunakan qiyas tapi menggunakan nash karena ada nash yang menuntunnya. Contohnya: jual beli salam (pesanan). Pada saat transaksi jual beli berlangsung, barang yang diperjualbelikan itu belum ada sedangkan menurut ketentuan umum dan nmenjadi sandaran qiyas maka transaksi model seperti itu tidak sah karena tidak memenuhi salah satu persyaratan jual beli. Cara ini tidak dipergunakan lagi karena adanya nash yang mengatur yakni hadist nabi yang melarang melakukan jual beli terhadap sesuatu barang yang tidak ada di tempat kecuali pada jual beli salam.
c.       Istihsan yang sandarannya ‘Urf. Mujtahid lebih menggunakan adat istiadat yang berlaku secara Umum. Istihsan ini disebut istihsan al-‘urf. Contoh: tarif angkot di kota yang jarak jauh dan dekat adalah sama.
d.      Istihsan yang sandarannya adalah dharurat. Mujtahid tidak menuntut menggunakan dalil yang secara umum karena adanya dharurat yang menghendaki pengecualian, disebut istihsan adh-dharurah. Contoh: diberlakukannya hukuman potong tangan terhadap pencuri karena pencurian itu dilakukan untuk mempertahankan hidup atau dhorurot.

3.      Kekuatan Istihsan dalam Ijtihad
Menurut imam Syafi’i bahwa istihsan tidak dapat dijadikan metode dalam berijtihad, jika itu menyalahi qiyas dengan alasan jika orang awam tidak menemukan keterangan hukum maka ia akan menggunakan istihsan.
Menurut Syarkhisi (dari kalangan hanafiyah, Malikiyah, hanabilah) menggunakan Istihsan sebagai metode pengambilan hukum dan menyanggah tudingan ulama’ syafi’I yang mengatakan istihsan itu mengikuti dan bertolak dari kehendak hawa nafsu. karena dianggap Istihsan adalah metode yang kontroversial, alasannya:
a.       Istihsan bentuk pertama menggunakan ijtihad dan pendapat pada umumnya dalam menghadapi kasus yang oleh syara’ sendiri diserahkan pada pendapat kita untuk menentukan hukumnya.
b.      Istihsan bentuk kedua adalah memilih dalil yang menyalahi qiyas jali dan ini menimbulkan prasangka buruk sebelum adanya penelitian secara mendalam. Akan tetapi jika telah diteliti, maka akan tampak bahwa dalil yang menyalahi dalil itu justru lebih kuat.
Perbedaan pendapat ini hanya ada bila istihsan diartikan sebagai: beralih dari menetapkan hukum berdasarkan dalil kepada adat kebiasaan. Jika yang dimaksud adat disini adalah yang disepakati golongan Ahlu al-Halli wa al-Aqdi maka berarti beralih dari dalil kepada ijma’ yang disepakati kebolehannya. Bila yang dimaksud adat disini adalah adat yang tidak bisa dijadikan hujjah seperti kebiasaan yang berlaku maka tidak boleh meninggalkan syara’, karena memilih menggunakan adat tersebut.

B.     Maslahah Mursalah

1.      Arti Maslahah
Sebelum memahami arti maslahah mursalah, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu arti maslahah karena maslahah mursalah adalah salah satu bentuk dari maslahah.
Menurut etimologis atau bahasa kata maslahah berasal dari kata shalaha yang berarti baik, awan dari buruk atau jelek. Ia adalah mashdar dengan makna shalah yang berarti manfaat atau terlepas dari kerusakan. Sedangkan dalam bahasa arab, maslahah berarti perbuatan-pebuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia atau perbuatan yang bermanfaat bagi manusia. Jadi, yang bermanfaat disebut maslahah.
Dalam memaknai maslahah secara istilah, banyak perbedaan dikalangan ulama’ walau pada dasarnya yang mereka maksudkan tak jauh berbeda. Diantaranya ialah:
ü  Al-Ghazali mendefinsikan maslahah sebagai sesuatu yang mendatangkan manfaat dan menghilangkan mudharat (pengertian asal), namun hakikat maslahah itu ialah:
Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum). Sedangkan tujuan syara’ itu ada lima, yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa, akal, keturunan, dan harta.
ü  Al-Khawarizmi memberikan definisi yang hampir sama dengan definisi Al-Ghazali, yaitu memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum) dengan cara menghindarkan kerusakan dari manusia.
ü  Ath-Thufi mendefinisikan sebagai ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam bentuk ibadah.

Dari beberapa definisi Ulama’ diatas, dapat kita saksikan bahwa setiap ulama’ memiliki rumusan yang berbeda tentang Maslahah. Dapat disimpulkan bahwa maslahah itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan (kerusakan) pada manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.[3]
Dari pemaparan dan kesimpulan diatas, jelas bahwa maslahah dalam arti bahasa tidaklah sama dengan maslahah dalam arti istilah. Maslahah dalam arti bahasa hanya terpaku pada pemenuhan kebutuhan manusiadan mengandung pengertian untuk mengikuti hawa nafsu atau tidak. Sedangkan maslahah dalm arti istilah lebih terpaku pada tujuan syara’, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda, tanpa melepaskan kebutuhan manusia yaitu mendapatkan kesenangan dan menghindarkan keburukan.
2.      Macam-macam maslahah
Maslahah mursalah memiliki beragai macam, diantaranya:
v  Dari segi kekuatannya sebagai hujjah dan menetapkan hukum:

a.       Maslahah dharuriyah, adalah kemaslahatan yang sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia. Artinya kehidupan manusia tak ada apa-apanya jika salah satu dari prinsip lima itu tidak ada. Oleh karena itu Allah memerintahkan untuk memenuhi prinsip yang lima itu karena merupakan kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Dalam hal ini contohnya: Allah melarang murtad untuk memelihara agama, melarang membunuh untuk memelihara jiwa, melarang minum minuman keras untuk memelihara akal, melarang berzina untuk memelihara keturunan, dan melarang mencuri untuk memelihara harta.
b.      Maslahah Hajiyah, adalah kemaslahatan yang tingkat kebutuhannya tidak sampai pada tingkat dharuri, artinya kemaslahatannya tidak secara langsung menuju pada kebutuhan pokok yang lima, akan tetapi pada dasarnya juga menuju ke arah sana. Maslahah hajiyah tidak sampai secara langsung menyebabkan rusaknya lima unsur pokok yang lima apabila tidak terpenuhi, akan tetapi secara tidak langsung menyebabkan kerusakan. Contoh: menuntut ilmu untuk tegaknya agama, makan untuk kelangsungan hidup, mengasah otak untuk  kesempurnaan akal, berdagang untuk mendapatkan harta. Semua itu adalah maslahah tingkat hajiyah.
c.       Maslahah Tahsiniyah, adalah kemaslahatan yang lebih rendah lagi tingkatannya dari pada hajiyah. Artinya, kemaslahatan ini hanya perlu dipenuhi hanya untuk menghiasi atau menyempurnakan hidup manusia. Contohnya seperti: membeli mobil hanya untuk menghiasi hidup manusia.

v  Dari segi keserasian maslahah dengan tujuan hukum atau keserasian maslahah dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum:

a.       Maslahah Mu’tabarah, yaitu maslahah yang diperhitungkan oleh syari’. Maksudnya, ada petunjuk dari syari’ yang memberikan petujuk pada adanya maslahah baik secara langsung maupun tidak langsung yang menjadi alasan dalam menetapkan hukum. Dari segi langsung dan tidak langsungnya maslahah, terbagi menjadi dua.
Yang pertama yaitu Maslahah Mu’atstsir yaitu ada petunjuk langsung dari pembuat hukum (syari’) yang memperhatikan maslahah tersebut. Artinya ada petunjuk syara’ yang menetapkan bahwa maslahah itu dapat dijadikan alasan dalam menetapkan hukum, baik berupa nash atau ijma’. Contohnya: dalil yang menunjuk langsung kepada maslahah ialah dalil tidak baiknya mendekati perempuan yang sedang haid, karena haid itu adalah penyakit. Alasan adanya penyakit itulah yang disebut munasib.hal ini ditegaskan dalam surat al-Baqarah ayat 222 yang berbunyi:

štRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙŠÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]Œr& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙŠÅsyJø9$#
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh.”

Contoh dalam bentuk ijma’ ialah: umpamanya menetapkan adanya kewalian Ayah terhadap anak-anak dengan illat belum dewasa. Adanya hubungan belum dewasa dengan hukum perwalian adalah maslahah atau munasib, dalam hal ini ijma’ sendiri yang mengatakan demikian.

Yang kedua Manasib Mu’allim, yaitu tidak ada petunjuk syara’ secara langsung baik dalam nash ataupun ijma’ tentang perhatian syara’ tentang maslahah tersebut, namun secara tidak langsung ada. Contohnya: seperti bolehnya jama’ shalat bagi orang yang muqim karena hujan. Keadaan hujan itu memang tidak pernah dijadikan alasan untuk hukum jama’ shalat. Namun syara’ melalui ijma’ menetapkan keadaan yang sejenis dengan hujan yaitu dalam perjalanan (safar). Dan itu menjadi alasan bolehnya jama’ shalat.
Dari uraian diatas tampaklah bahwa pada bentuk maslahah yang dalilnya tidak langsung itu masih ada perhatian syara’ kepada maslahah tersebut meskipun sangat kecil.
b.       Maslahah Mulghah (maslahah yang ditolak), yaitu maslahah yang dianggap baik oleh akal, namun tidak diperhatikan oleh syara’ dan ada petunjuk syara’ yang menolaknya. Contohnya: di zaman kini masyarakat telah mengakui adanya emansipasi wanita untuk menyamakan derajat waita dan laki-laki. Oleh karena itu akan menganggap itu baik atau maslahah untuk menyamakan bagian laki-laki dan wanita dalam pembagian harta warisan. Akan tetapi itu ditolak oleh syara’ secara jelas pada surat an-Nisa’ ayat 11  yang berbunyi:
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$#
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.”

c.       Maslahah Mursalah, yaitu maslahah yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengat tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, namun tidak ada petujuk syara’ yang memperhitungkannya dan tidak ada yang petunjuk syara’ yang menolaknya.[4] Dalam hal ini akan lebih dipaparkan selanjutnya.

3.      Arti Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah adalah gabungan dua kata Maslahah dan Mursalah, seperti yang telah dijabarkan diatas bahwa maslahah secara bahasa ialah bermakna baik, lawan dari jelek. Sedangkan mursalah secara bahasa ialah isim maf’ul dari fi’il madhi arsala yang artinya terlepas atau bebas. Jad, bila digabungkan dengan kata maslahah yaitu terlepas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidaknya dilakukan.
Malahah mursalah menurut istilah para Ulama sangat beragam, diantaranya:
Menurut Al-Gzali dalam kitab Al-Musytasyfa maslahah Mursalah ialah:
Apa-apa (maslahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.
Abdul wahab khallaf menyatakan bahwa maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak disyari’atkan oleh syari’ dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan dalam rangka menciptakan kemaslahatan, disamping tidak ada dalil yang membenarkan atau menyalahkan.[5]
M. Abu zahrah berpendapat bahwa maslahah mursalah ialah:
Maslahat-maslahat yang sesuai dengan tujuan hukum islam dan tidak ditopang oleh sumber dalil yang khusus, baik berifat menerima ataupun menolak maslahat tersebut.[6]
            Dari beberapa definisi diata,dapat kita tarik kesimpulan bahwa maslahah mursalah ialah sesuatu yang  baik menurut akal yang sejalan dengan syara’ dalam menetapkan hukum dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan, akan tetapi tidak ada petunjuk syara’ ang secara khusus menolaknya atau menerimanya. Contohnya: ialah peraturan lalu lintas dengan segala rambu-rambunya. Peraturan seperti itu tidak ada dalil khusus yang mengaturnya, baik dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah. Namun peraturan seperti itu sejalan dengan dengan tujuan syari’at yaitu untuk memelihara jiwa.

4.      Maslahah Mursalah Sebagai Metode Ijtihad
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa maslahah ada tiga, yaitu Maslahah Mu’tabarah, maslahah Mulghah dan Maslahah Mursalah. Jumhur ulama’ sepakat bahwa Maslahah Mu’tabarah boleh digunakan sebagai metode pengambilan hukum, namun tidak dijadikan dalil atau metode yang berdiri sendiri. Karena tidak adanya petunjuk syara’ yang mengakuinya baik secara langsung maupun tidak langsung. Demikian pula dengan kesepakatan ulama’ dalam menolak Maslahah Mulghah, karena meski maslahahnya sejalan dengan akal dan sejalan dengan tujuan syara’ namun bertentangan dengan dalil yang ada. Karena menurut ulama’ apabila terdapat pertentangan antara nash dan maslahah, maka nash lah yang harus didahulukan.
            Adanya perbedaan pendapat dikalangan Ulama’ dalam penggunaan maslahah ini terjadi karena tidak ada dalil khusus yang menyatakan bahwa maslahah itu diterima baik secara lansung maupun tidak langsung. Dalam merumuskan pendapat para madzhab,  ulama’ dan penulis ushul Fiqh yang menyetujui dan menolak maslahah mursalah pun berbeda pendapat. Asy-syatibi berpendapat bahwa kelompok Malikiyah adalah kelompok yang secara jelas menggunakan maslahah mursalah sebagai metode ijtihad. Tetapi bukan berarti kelompok non-maliki tidak menggunakan maslahah mursalah.
             Tentang  pandangan Ulama’ hanafi terhadap maslahah mursalah ini terjadi perbedaan argumen. Al hamidi berpendapat bahwa ulama’ Hanafi tidak menggunakan maslahah mursalah. Akan tetapi menurut Ibn Qudamah maslahah mursalah juga digunakan oleh ulama’ hanafi. Tetapi tampaknya yang mengatakan bahwa metode maslahah mursalah juga digunakan oleh sebagian ulama’ hanafi lah yang paling mendekati kebenaran, karena kedekatan antara maslahah mursalah dan istihsan yang populer dikalangan ulama’ Hanafi.
            Sedangkan ulama’ Syafi’i tampaknya tidak menggunakan maslahah mursalah. Hal ini dapat dilihat dari kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi’i yang tidak menyinggung Maslahah Mursalah dalam pembahasan sendiri, namun menyinggung dalam pembahasan illat. Namun, banyak juga ulama’ yang mengatakan bahwa ulama’ syafi’i juga menggunakan maslahah mursalah sebagai metode ijtihad. Akan tetapi penggunaan itu tidak secara mutlak, yaitu dengan catatan meskipun maslahah itu tidak didukung nash secara langsung ataupun tidak langsung, namun setidaknya maslahah itu dekat dengan prinsip pokok hukum syara’ yang telah ditetapkan.
            Syarat-syarat khusus untuk dapat berijtihad dengan menggunakan maslahah mursalah ialah:
1.      Maslahah mursalah itu adalah maslahah yang hakiki dan bersifat umum, artinya dapat diterima oleh akal dan benar-benar mendatangkan manfaat dan menghindarkan maslahaht bagi manusia secara utuh.
2.      maslahah tersebut hakiki dan betul-betul sejalan dengan maksud dan tujuan syara’ dalam menetapkan setiap hukum, yaitu mewujudkan kemaslahatan bagi menusia.
3.      Tidak berbenturan dengan dalil syara’ yang telah ada, baik berupa nash ataupun ijma’.
4.      Maslahah murasalah itu digunakan dalam keadaan dharuri, yang apabila tidak menggunakan maslahah mursalah umat akan mengalami kesempitan hidupatau kesulitan.[7]
            Menurut Abd wahab khallaf, dalil yang dipakai oleh ulama’ yang menggunakan maslahah mursalah sebagai metode pengambilan hukum ialah:
a.       Kemaslahatan umat manusia itu secara lestari sifatnya selalu aktual. Karena itu, jika tidak ada syari’at hukum yang berdasarkan maslahah mursalah berkenaan dengan maslahah baru sesuai tuntutan zaman, maka pembentukan hukum hanya akan terpaku bedasar maslahah yang diakui syari’.
b.      Orang-orang yang menyelidiki pembentukan hukum yang dilakukan oleh para sahabat, tabi’in dan para mujtahid akan tampak bahwa mereka mensyari’atkan berbagai ragam hukum dalam rangka mencari kemaslahatan. Contohnya seperti pembukuan al-qur’an.[8]
Sedangkan kelompok yang menolak maslahah mursalah sebagai metode untuk mengambil hukum ialah:
1.      Allah dan rasul-Nya telah merumuskan ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin segala bentuk kemaslahatan umat manusia. Menetapkan hukum berdasarkan maslahah mursalah berarti menganggap syari’at islam tidak lengkap karena menganggap masih ada maslahah yang belum tertampung dalam hukum-hukum islam. Hal itu bertentangan dengan surat al-Qiyamah ayat 36 yang artinya: Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?”.
2.      Membenarkan maslahah mursalah sebagai landasan hukum berarti membuka pintu bagi berbagai pihak untuk menetapkan hukum seenaknya dengan alasan untuk meraih kemaslahatan.[9]
Dari beberapa argumen yang menolak dan menerima maslahah mursalah sebagai metode ijtihad dapat kita perhatikan bahwa ulama’ yang menggunakan maslahah mursalah itu menetapkan batas wilayah penggunaanya, yaitu hanya untuk maslahah diluar wilayah ‘Ubudiyah, seperti mu’amalah dan adat. Artinya, dalam masalah ibadah maslahah tidak dapat digunakan secara keseluruhan. Alasannya, karena maslahah itu didasarkan pada pertimbangan akal tentang baik buruk suatu masalah, sedangkan akal tidak dapat melakukan hal itu untuk ibadah.




[1] M. Amir Syarifuddin. Ushul fiqh. Jakarta: Kencana. 2008. Hlm. 305.
[2] M. Amir Syarifuddin. Ushul fiqh. Jakarta: Kencana. 2008. Hlm. 310.
[3] M. Amir Syarifuddin. Ushul fiqh. Jakarta: Kencana. 2008. Hlm. 325.
[4] M. Amir Syarifuddin. Ushul fiqh. Jakarta: Kencana. 2008. Hlm. 332.
[5] Abdul Wahab khallaf. Ilmu Ushul Fiqh.da’wah islamiyah Syabab al-Azhar. 1968. Hlm 84.
[6] M. Abu Zahrah. Ushul fiqih. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus. 1994. Hlm. 427.
[7] M. Amir Syarifuddin. Ushul fiqh. Jakarta: Kencana. 2008. Hlm. 332.
[8]  Abdul Wahab khallaf. Ilmu Ushul Fiqh.da’wah islamiyah Syabab al-Azhar. 1968. Hlm 85.
[9]  Satria Effendi. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2005. Hlm 150.