Istihsan
A.
Istihsan
1.
Pengertian Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah memperhitungkan sesuatu
lebih baik. Banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama’ dalam mendefinisikan
istihsan. Diantaranya:
·
Menurut Ibn Subki Istihsan adalah:
Beralih dari penggunaan satu qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat dari qiyas
pertama. Definisi ini tidak diperdebatkan karena yang didahulkan adalah qiyas
yang terkuat.
Atau beralih dari dari penggunaan sebuah dalil kepada
adat kebiasaan karena suatu kemaslahatan. Dalam bentuk seperti ini berlaku bila
adat istiadat itu baik pada masa Nabi dan sesudahnya, tanpa adanya penolakan
dari nabi dan lainnya. Tentu ada dalil pendukungnya, baik dalam bentuk nash
atau ijmak. Dalam bentuk seperti ini harus diamalkan secara pasti. Namun jika
tidak terbukti benar maka tidak harus diamalkan.[1]
·
Istihsan menurut Ulama’ Malikiyah adalah:
Menggunakan kemaslahatan yang bersifat juz’i sebagai pengganti dalil
yang bersifat kulli. Mujtahid dalam menetapkan hukum berdasarkan dalil yang
bersifat umum, namun dalam keadaan tertentu mujtahid melihat adanya dalil
khusus maka Ia lebih menggunakan dalil khusus tersebut.
·
Istihsan menurut Ulama’ Hanabilah;
Beralihnya Mujtahid dalam menetapkan hukum terhadap satu masalah dari
yang sanding dengan itu karena adanya dalil kusus dalam al-Qur’an atau sunnah.
·
Dari kalangan hanafiyah, Istihsan adalah:
Beramal dengan ijtihad dalam menentukan suatu syara’ yang menyerahkannya kepada
pendapat kita.
Dari beberapa definisi ulama’
diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Istihsan adalah seorang mujtahid dalam
melakukan ijtihad untuk menemukan dan menetapkan hukum tidak jadi menggunakan
suatu dalil, baik dalil itu dalam bentuka qiyas, hukum kulli,atau kaidah
umummnya, namun sebagai gantinya
mujtahid menggunakan dalil lain yang dinilai lebih kuat, atau nash yang
ditemukannya, ’urf yang berlaku, keadaan
dhorurot, atau hukum pengecualian.
2.
Macam-Macam Istihsan
Istihsan dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan:
a.
Beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas dhohir pada
yang dikehendaki oleh qiyas khafi. Contoh: mewakafkan
tanah yang didalamnya terdapat sumber air dan jalan.
b.
Beralih dari apa yang dituntut oleh nash yang umum pada
hukum yang bersifat khusus, Contoh: penerapan sanksi
hukum terhadap pencuri.
c.
Tuntutan hukum kulli pada tuntutan yang dikehendaki hukum
pengecualian. Contoh: wakaf yang dilakukan oleh orang
yang belum dewasa.[2]
Istihsan ditinjau dari segi sandaran:
a.
Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi. dalam arti
mujtahid meninggalkan qiyas pertama karena ia melihat bentuk qiyas yang lain
meskipun qiyas yang lain tersebut memiliki kelemahan, tapi dari segi lain
terdapat kemaslahatan lebih tinggi. Istihsan ini disebut istihsan qiyas.
Contoh: penetapan hukum bersih tidaknya air yang bekas jilatan
burung buas seperti gagak dan elang,tidak ada nash syara’ yang menyebutkan
hukumnya. Namun dalam kasus ini, cara yang biasa ditempuh ulama’ adalah melalui
qiyas,jadi air tersebut berhukum bersih karena diqiyaskan pada air bekas
jilatan burung biasa.
b.
Istihsan yang sandarannya adalah nash. Mujtahid dalam
menetakan hukum tidak menggunakan qiyas tapi menggunakan nash karena ada nash
yang menuntunnya. Contohnya:
jual beli salam (pesanan). Pada saat transaksi jual beli berlangsung, barang
yang diperjualbelikan itu belum ada sedangkan menurut ketentuan umum dan
nmenjadi sandaran qiyas maka transaksi model seperti itu tidak sah karena tidak
memenuhi salah satu persyaratan jual beli. Cara ini tidak dipergunakan lagi
karena adanya nash yang mengatur yakni hadist nabi yang melarang melakukan jual
beli
terhadap sesuatu barang yang tidak ada di tempat kecuali pada jual beli salam.
c.
Istihsan yang sandarannya ‘Urf. Mujtahid lebih menggunakan adat istiadat yang berlaku secara
Umum. Istihsan ini disebut istihsan al-‘urf.
Contoh: tarif angkot di kota yang jarak jauh dan dekat adalah sama.
d.
Istihsan yang sandarannya adalah dharurat. Mujtahid tidak menuntut
menggunakan dalil yang secara umum karena adanya dharurat yang menghendaki
pengecualian, disebut istihsan adh-dharurah. Contoh:
diberlakukannya hukuman potong tangan terhadap pencuri karena pencurian itu
dilakukan untuk mempertahankan hidup atau dhorurot.
3.
Kekuatan Istihsan dalam Ijtihad
Menurut imam Syafi’i bahwa istihsan tidak dapat dijadikan
metode dalam berijtihad, jika itu menyalahi qiyas dengan alasan jika orang awam
tidak menemukan keterangan hukum maka ia akan menggunakan istihsan.
Menurut Syarkhisi (dari kalangan hanafiyah, Malikiyah,
hanabilah) menggunakan Istihsan sebagai metode pengambilan hukum dan menyanggah
tudingan ulama’ syafi’I yang mengatakan istihsan itu mengikuti dan bertolak
dari kehendak hawa nafsu. karena dianggap Istihsan adalah metode yang
kontroversial, alasannya:
a.
Istihsan bentuk pertama menggunakan ijtihad dan pendapat
pada umumnya dalam menghadapi kasus yang oleh syara’ sendiri diserahkan pada
pendapat kita untuk menentukan hukumnya.
b.
Istihsan bentuk kedua adalah memilih dalil yang menyalahi
qiyas jali dan ini menimbulkan prasangka buruk sebelum adanya penelitian secara
mendalam. Akan tetapi jika telah diteliti, maka akan tampak bahwa dalil yang
menyalahi dalil itu justru lebih kuat.
Perbedaan pendapat ini hanya ada bila istihsan
diartikan sebagai: beralih dari menetapkan hukum berdasarkan dalil kepada adat
kebiasaan. Jika yang dimaksud adat disini adalah yang disepakati golongan Ahlu
al-Halli wa al-Aqdi maka berarti beralih dari dalil kepada ijma’ yang disepakati
kebolehannya. Bila yang dimaksud adat disini adalah adat yang tidak bisa
dijadikan hujjah seperti kebiasaan yang berlaku maka tidak boleh meninggalkan
syara’, karena memilih menggunakan adat tersebut.
B.
Maslahah Mursalah
1.
Arti Maslahah
Sebelum memahami arti maslahah mursalah, sebaiknya kita
mengetahui terlebih dahulu arti maslahah karena maslahah mursalah adalah salah
satu bentuk dari maslahah.
Menurut etimologis atau bahasa kata maslahah berasal dari
kata shalaha yang berarti baik, awan dari buruk atau jelek. Ia adalah mashdar
dengan makna shalah yang berarti manfaat atau terlepas dari kerusakan.
Sedangkan dalam bahasa arab, maslahah berarti perbuatan-pebuatan yang mendorong
kepada kebaikan manusia atau perbuatan yang bermanfaat bagi manusia. Jadi, yang
bermanfaat disebut maslahah.
Dalam memaknai maslahah secara istilah, banyak perbedaan
dikalangan ulama’ walau pada dasarnya yang mereka maksudkan tak jauh berbeda.
Diantaranya ialah:
ü Al-Ghazali
mendefinsikan maslahah sebagai sesuatu yang mendatangkan manfaat dan
menghilangkan mudharat (pengertian asal), namun hakikat maslahah itu ialah:
Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum).
Sedangkan tujuan syara’ itu ada lima, yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa,
akal, keturunan, dan harta.
ü Al-Khawarizmi
memberikan definisi yang hampir sama dengan definisi Al-Ghazali, yaitu
memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum) dengan cara menghindarkan
kerusakan dari manusia.
ü Ath-Thufi
mendefinisikan sebagai ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’
dalam bentuk ibadah.
Dari beberapa definisi Ulama’ diatas, dapat kita saksikan
bahwa setiap ulama’ memiliki rumusan yang berbeda tentang Maslahah. Dapat
disimpulkan bahwa maslahah itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal
sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan (kerusakan) pada
manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.[3]
Dari pemaparan dan kesimpulan diatas, jelas bahwa
maslahah dalam arti bahasa tidaklah sama dengan maslahah dalam arti istilah.
Maslahah dalam arti bahasa hanya terpaku pada pemenuhan kebutuhan manusiadan
mengandung pengertian untuk mengikuti hawa nafsu atau tidak. Sedangkan maslahah
dalm arti istilah lebih terpaku pada tujuan syara’, yaitu memelihara agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta benda, tanpa melepaskan kebutuhan manusia
yaitu mendapatkan kesenangan dan menghindarkan keburukan.
2.
Macam-macam maslahah
Maslahah mursalah memiliki beragai macam, diantaranya:
v Dari segi
kekuatannya sebagai hujjah dan menetapkan hukum:
a.
Maslahah dharuriyah, adalah kemaslahatan yang sangat
dibutuhkan oleh kehidupan manusia. Artinya kehidupan manusia tak ada apa-apanya
jika salah satu dari prinsip lima itu tidak ada. Oleh karena itu Allah memerintahkan
untuk memenuhi prinsip yang lima itu karena merupakan kebutuhan pokok yang sangat
dibutuhkan oleh manusia. Dalam hal ini contohnya: Allah
melarang murtad untuk memelihara agama, melarang membunuh untuk memelihara
jiwa, melarang minum minuman keras untuk memelihara akal, melarang berzina
untuk memelihara keturunan, dan melarang mencuri untuk memelihara harta.
b.
Maslahah Hajiyah, adalah kemaslahatan yang tingkat
kebutuhannya tidak sampai pada tingkat dharuri, artinya kemaslahatannya tidak
secara langsung menuju pada kebutuhan pokok yang lima, akan tetapi pada
dasarnya juga menuju ke arah sana. Maslahah hajiyah tidak sampai secara
langsung menyebabkan rusaknya lima unsur pokok yang lima apabila tidak
terpenuhi, akan tetapi secara tidak langsung menyebabkan kerusakan. Contoh: menuntut ilmu untuk tegaknya agama, makan untuk
kelangsungan hidup, mengasah otak untuk
kesempurnaan akal, berdagang untuk mendapatkan harta. Semua itu adalah
maslahah tingkat hajiyah.
c.
Maslahah Tahsiniyah, adalah kemaslahatan yang lebih
rendah lagi tingkatannya dari pada hajiyah. Artinya, kemaslahatan ini hanya
perlu dipenuhi hanya untuk menghiasi atau menyempurnakan hidup manusia. Contohnya seperti: membeli mobil hanya untuk menghiasi hidup
manusia.
v Dari segi
keserasian maslahah dengan tujuan hukum atau keserasian maslahah dengan tujuan
syara’ dalam menetapkan hukum:
a.
Maslahah Mu’tabarah, yaitu maslahah yang diperhitungkan
oleh syari’. Maksudnya, ada petunjuk dari syari’ yang memberikan petujuk pada
adanya maslahah baik secara langsung maupun tidak langsung yang menjadi alasan
dalam menetapkan hukum. Dari segi langsung dan tidak langsungnya maslahah,
terbagi menjadi dua.
Yang pertama yaitu Maslahah Mu’atstsir yaitu ada petunjuk
langsung dari pembuat hukum (syari’) yang memperhatikan maslahah tersebut. Artinya ada petunjuk syara’ yang menetapkan bahwa maslahah
itu dapat dijadikan alasan dalam menetapkan hukum, baik berupa nash atau ijma’.
Contohnya: dalil yang menunjuk langsung kepada maslahah
ialah dalil tidak baiknya mendekati perempuan yang sedang haid, karena haid itu
adalah penyakit. Alasan adanya penyakit itulah yang disebut munasib.hal ini
ditegaskan dalam surat al-Baqarah ayat 222 yang berbunyi:
tRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]r& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙÅsyJø9$#
“
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah
suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita
di waktu haidh.”
Contoh dalam bentuk ijma’ ialah:
umpamanya menetapkan adanya kewalian Ayah terhadap anak-anak dengan illat belum
dewasa. Adanya hubungan belum dewasa dengan hukum perwalian adalah maslahah
atau munasib, dalam hal ini ijma’ sendiri yang mengatakan demikian.
Yang kedua Manasib Mu’allim, yaitu tidak ada petunjuk
syara’ secara langsung baik dalam nash ataupun ijma’ tentang perhatian syara’
tentang maslahah tersebut, namun secara tidak langsung ada. Contohnya: seperti bolehnya jama’ shalat bagi orang yang
muqim karena hujan. Keadaan hujan itu memang tidak pernah dijadikan alasan
untuk hukum jama’ shalat. Namun syara’ melalui ijma’ menetapkan keadaan yang
sejenis dengan hujan yaitu dalam perjalanan (safar). Dan itu menjadi alasan
bolehnya jama’ shalat.
Dari uraian diatas tampaklah bahwa pada bentuk maslahah
yang dalilnya tidak langsung itu masih ada perhatian syara’ kepada maslahah
tersebut meskipun sangat kecil.
b.
Maslahah Mulghah (maslahah yang ditolak), yaitu maslahah
yang dianggap baik oleh akal, namun tidak diperhatikan oleh syara’ dan ada
petunjuk syara’ yang menolaknya. Contohnya: di
zaman kini masyarakat telah mengakui adanya emansipasi wanita untuk menyamakan
derajat waita dan laki-laki. Oleh karena itu akan menganggap itu baik atau
maslahah untuk menyamakan bagian laki-laki dan wanita dalam pembagian harta
warisan. Akan tetapi itu ditolak oleh syara’ secara jelas pada surat an-Nisa’
ayat 11 yang berbunyi:
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$#
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan.”
c.
Maslahah Mursalah, yaitu maslahah yang dipandang baik
oleh akal, sejalan dengat tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, namun tidak ada
petujuk syara’ yang memperhitungkannya dan tidak ada yang petunjuk syara’ yang
menolaknya.[4] Dalam
hal ini akan lebih dipaparkan selanjutnya.
3.
Arti Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah adalah gabungan dua kata Maslahah dan
Mursalah, seperti yang telah dijabarkan diatas bahwa maslahah secara bahasa
ialah bermakna baik, lawan dari jelek. Sedangkan mursalah secara bahasa ialah
isim maf’ul dari fi’il madhi arsala yang artinya terlepas atau bebas.
Jad, bila digabungkan dengan kata maslahah yaitu terlepas dari keterangan yang
menunjukkan boleh atau tidaknya dilakukan.
Malahah mursalah menurut istilah para Ulama sangat
beragam, diantaranya:
Menurut Al-Gzali
dalam kitab Al-Musytasyfa maslahah Mursalah ialah:
Apa-apa (maslahah) yang tidak ada bukti baginya dari
syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang
memperhatikannya.
Abdul wahab khallaf
menyatakan bahwa maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak disyari’atkan
oleh syari’ dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan dalam
rangka menciptakan kemaslahatan, disamping tidak ada dalil yang membenarkan
atau menyalahkan.[5]
M. Abu zahrah
berpendapat bahwa maslahah mursalah ialah:
Maslahat-maslahat yang sesuai dengan tujuan hukum islam
dan tidak ditopang oleh sumber dalil yang khusus, baik berifat menerima ataupun
menolak maslahat tersebut.[6]
Dari beberapa definisi diata,dapat
kita tarik kesimpulan bahwa maslahah mursalah ialah sesuatu yang baik menurut akal yang sejalan dengan syara’
dalam menetapkan hukum dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau
menghindarkan keburukan, akan tetapi tidak ada petunjuk syara’ ang secara
khusus menolaknya atau menerimanya. Contohnya: ialah
peraturan lalu lintas dengan segala rambu-rambunya. Peraturan seperti itu tidak
ada dalil khusus yang mengaturnya, baik dalam Al-Qur’an maupun sunnah
Rasulullah. Namun peraturan seperti itu sejalan dengan dengan tujuan syari’at
yaitu untuk memelihara jiwa.
4.
Maslahah Mursalah Sebagai Metode Ijtihad
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa maslahah ada
tiga, yaitu Maslahah Mu’tabarah, maslahah Mulghah dan Maslahah Mursalah. Jumhur
ulama’ sepakat bahwa Maslahah Mu’tabarah boleh digunakan sebagai metode
pengambilan hukum, namun tidak dijadikan dalil atau metode yang berdiri
sendiri. Karena tidak adanya petunjuk syara’ yang mengakuinya baik secara
langsung maupun tidak langsung. Demikian pula dengan kesepakatan ulama’ dalam
menolak Maslahah Mulghah, karena meski maslahahnya sejalan dengan akal dan
sejalan dengan tujuan syara’ namun bertentangan dengan dalil yang ada. Karena
menurut ulama’ apabila terdapat pertentangan antara nash dan maslahah, maka
nash lah yang harus didahulukan.
Adanya perbedaan pendapat dikalangan
Ulama’ dalam penggunaan maslahah ini terjadi karena tidak ada dalil khusus yang
menyatakan bahwa maslahah itu diterima baik secara lansung maupun tidak
langsung. Dalam merumuskan pendapat para madzhab, ulama’ dan penulis ushul Fiqh yang menyetujui
dan menolak maslahah mursalah pun berbeda pendapat. Asy-syatibi berpendapat
bahwa kelompok Malikiyah adalah kelompok yang secara jelas menggunakan maslahah
mursalah sebagai metode ijtihad. Tetapi bukan berarti kelompok non-maliki tidak
menggunakan maslahah mursalah.
Tentang pandangan Ulama’ hanafi terhadap maslahah
mursalah ini terjadi perbedaan argumen. Al hamidi berpendapat bahwa ulama’
Hanafi tidak menggunakan maslahah mursalah. Akan tetapi menurut Ibn Qudamah
maslahah mursalah juga digunakan oleh ulama’ hanafi. Tetapi tampaknya yang
mengatakan bahwa metode maslahah mursalah juga digunakan oleh sebagian ulama’
hanafi lah yang paling mendekati kebenaran, karena kedekatan antara maslahah
mursalah dan istihsan yang populer dikalangan ulama’ Hanafi.
Sedangkan ulama’ Syafi’i tampaknya
tidak menggunakan maslahah mursalah. Hal ini dapat dilihat dari kitab
Ar-Risalah karya Imam Syafi’i yang tidak menyinggung Maslahah Mursalah dalam
pembahasan sendiri, namun menyinggung dalam pembahasan illat. Namun, banyak
juga ulama’ yang mengatakan bahwa ulama’ syafi’i juga menggunakan maslahah
mursalah sebagai metode ijtihad. Akan tetapi penggunaan itu tidak secara
mutlak, yaitu dengan catatan meskipun maslahah itu tidak didukung nash secara
langsung ataupun tidak langsung, namun setidaknya maslahah itu dekat dengan
prinsip pokok hukum syara’ yang telah ditetapkan.
Syarat-syarat khusus untuk dapat
berijtihad dengan menggunakan maslahah mursalah ialah:
1.
Maslahah mursalah itu adalah maslahah yang hakiki dan
bersifat umum, artinya dapat diterima oleh akal dan benar-benar mendatangkan
manfaat dan menghindarkan maslahaht bagi manusia secara utuh.
2.
maslahah tersebut hakiki dan betul-betul sejalan dengan
maksud dan tujuan syara’ dalam menetapkan setiap hukum, yaitu mewujudkan
kemaslahatan bagi menusia.
3.
Tidak berbenturan dengan dalil syara’ yang telah ada,
baik berupa nash ataupun ijma’.
4.
Maslahah murasalah itu digunakan dalam keadaan dharuri,
yang apabila tidak menggunakan maslahah mursalah umat akan mengalami kesempitan
hidupatau kesulitan.[7]
Menurut Abd wahab khallaf, dalil
yang dipakai oleh ulama’ yang menggunakan maslahah mursalah sebagai metode
pengambilan hukum ialah:
a.
Kemaslahatan umat manusia itu secara lestari sifatnya
selalu aktual. Karena itu, jika tidak ada syari’at hukum yang berdasarkan
maslahah mursalah berkenaan dengan maslahah baru sesuai tuntutan zaman, maka
pembentukan hukum hanya akan terpaku bedasar maslahah yang diakui syari’.
b.
Orang-orang yang menyelidiki pembentukan hukum yang
dilakukan oleh para sahabat, tabi’in dan para mujtahid akan tampak bahwa mereka
mensyari’atkan berbagai ragam hukum dalam rangka mencari kemaslahatan.
Contohnya seperti pembukuan al-qur’an.[8]
Sedangkan kelompok yang menolak maslahah mursalah sebagai
metode untuk mengambil hukum ialah:
1.
Allah dan rasul-Nya telah merumuskan ketentuan-ketentuan
hukum yang menjamin segala bentuk kemaslahatan umat manusia. Menetapkan hukum
berdasarkan maslahah mursalah berarti menganggap syari’at islam tidak lengkap
karena menganggap masih ada maslahah yang belum tertampung dalam hukum-hukum
islam. Hal itu bertentangan dengan surat al-Qiyamah ayat 36 yang artinya: “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu
saja (tanpa pertanggung jawaban)?”.
2.
Membenarkan maslahah mursalah sebagai landasan hukum
berarti membuka pintu bagi berbagai pihak untuk menetapkan hukum seenaknya
dengan alasan untuk meraih kemaslahatan.[9]
Dari beberapa argumen yang menolak dan menerima maslahah
mursalah sebagai metode ijtihad dapat kita perhatikan bahwa ulama’ yang
menggunakan maslahah mursalah itu menetapkan batas wilayah penggunaanya, yaitu
hanya untuk maslahah diluar wilayah ‘Ubudiyah, seperti mu’amalah dan adat.
Artinya, dalam masalah ibadah maslahah tidak dapat digunakan secara
keseluruhan. Alasannya, karena maslahah itu didasarkan pada pertimbangan akal
tentang baik buruk suatu masalah, sedangkan akal tidak dapat melakukan hal itu
untuk ibadah.