Selasa, 04 Oktober 2011

PEMIKIRAN KALAM: PEMIKIRAN KHAWARIJ, MURJI’AH, QADARIYAH dan JABARIYAH



PEMIKIRAN KALAM: PEMIKIRAN KHAWARIJ, MURJI’AH, QADARIYAH dan JABARIYAH


Makalah
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Ilmu Kalam”

 








Oleh:
AWATIF BAQIS
NIM: E03210030


Dosen Pembimbing:
Dr. Muzayyanah Mu’tashim, MA

FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN TAFSIR HADITS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA
2010

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan Rahmat dan Taufiq-Nya kepada kita, sehingga kita bisa melaksanakan aktifitas kita dalam keadaan sehat walafiyat.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita yang telah merubah tatanan sosial dari alam yang penuh dengan ketergersangan ilmu menuju alam yang penuh cahaya ilmu yakni agama islam.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada Dr. Muzayyanah Mu’tashim, MA beliau selaku pengajar mata kuliah “Ilmu Kalam” yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan makalah yang kami buat. Tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah rela menyumbangkan sebagian tenaganya untuk ikut andil dalam menyelesaikan makalah yang kami buat, sehingga makalah yang kami buat dapat terselesaikan dengan baik.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat jauh dari kesempurnaan serta banyak sekali kesalahan. Untuk itu diperlukan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi terorganisirnya makalah untuk edisi selanjutnya.
Semoga makalah yang kami buat dapat menambah pengetahuan, sekaligus bertanbahnya keberkahan ilmu demi tegaknya pilar-pilar agama islam.

                                                                                           Surabaya, 15 Desember 2010


                                                                                                             Penulis


PEMIKIRAN KALAM: PEMIKIRAN KHAWARIJ, MURJI’AH, QADARIYAH dan JABARIYAH
           
KHAWARIJ dan MURJI’AH
A.  KHAWARIJ
1.    Latar Belakang kemunculan
            Secara estimologis kata khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul atau memberontak. Pengertian ini yang mendasari syahrastani untuk menyebut khawarij terhadap orang yang memberontak iman yang sah. Berdasarkan dari pengertian epistimologi ini pula, khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat islam.
            Sedangkan yang dimaksud khawarij dalam terminologi ilmu kalam adalah suatu sekte\ aliran\ kelompok pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidak kesepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase atau tahkim dalam perang shiffin pada tahun 37 H\648 M, dengan kelompok bughat atau pemberontak muawiyah bin abi Sufyan perihal persengketaan khalifah. Kelompok khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah yang sah yang telah dibai’at mayoritas ulama’ islam, sementara muawiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah.  Lagipula menurut penglihatan khawarij, pihak Ali hampir emperoleh kemenangan pada peperangan itu, akan tetapi karena Ali menerima permintaan damai muawiyah yang licuk itu, maka kemenangan yang hampir diperoleh pun musnah.[1]
            Pada awalnya, Ali tidak menerima ajakan damai pasukan muawiyah. namun karena desakan pengikutnya salah satunya Al-Asy’asts bin Qais, Mas’ud bin Al-fudaki dan lain-lain dengan sangat terpaksa Ali menerima ajakan damai muawiyah. Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai wakil dari pasukan Ali sebagai juru damainya, namun pihak muawiyah menolak dan brealasan bahwa Abdullah berasal dari kelompok Ali sendiri, maka mereka mangusulkan  Abu Musa al-asy’ari sebagai juru damainya. Keputusan tahkim menurunkan Ali dari jabatannya dan mengangkat Muawiyah sangat mengecewakan orang-orang khawarij. Mereka mambelot dan mengatakan “mengapa kalian berhukum kepada manusia. Tidak ada hukum selain hukum yang ada di sisi Allah’. Pada saat itu kaum khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju hurura. Itulah sebabnya khawarij disebut juga dengan nama hururiyah. Kadang mereka disebut syurah dan Al-mariqah.
            Dengan arahan Abdullah bin Al-Kiwa, mereka sampai di harura. Kelompok ini melanjutka perlawana kepada Muawiyah dan Ali dan mengangkat Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi sebagai pemimpin mereka.[2]
Doktrin-Doktrin pokoknya
            Doktin-doktrin pokok khawarij diantaranya:
a . khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh umat islam
b. khalifah tdak hanya dari keturunan Arab, jadi orang yang bukan keturunan Arab pun boleh menjadi khalifah.
c. khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersifat adil dan menjalankan syariat islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh jika melakukan kezaliman.
d. khalifah sebelum Ali adalah sah. Tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya, ustman dianggap menyeleweng.
e. khalifah Ali sah tapi setelah terjadi tahkim i adianggap telah menyeleweng.
f. Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap penyeleweng dan menjadi kafir.
g. pasukan perang jamal yang melawan Ali juga kafir.
h. seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga garus dibunuh. Yang sangat kacau lagi, mereka menganggap bahwa bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang tela dianggap menjadi kafir denagn resiko ia menaggung beban pula dan harus dibunuh.
i. setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al-harb (negara musuh), sedang golongan mereka sendiri dianggap beada dalam dar al-islam (negara islam)
j. seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
k. adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik masuk surga , sedangkan orang yang jahat masuk ke neraka).
l. amar ma’ruf nahi mungkar.
m. qur’an adalah makhluk.
n. memelingkan ayat-ayat yang tampak mutasyabihat (samar)
o. manusia bebas memutuskan perbuatannya, bukan dari Tuhan.[3]
            Bila dianalisis secara mendalam, doktrin yang dikembangkan kaum khawarij dapat dikategorikan dalam tiga kategori yaitu politik, teologi dan sosial.
            Poin a sampai poin g dikategorikan sebagai doktrin politik, sebab membicarakan tentang hal-hal yang berhubungan degan kenegaraan. Mereka menolak dipimpin oleh orang yang tidak pantas. Jalan yang ditempuh mereka adalah membunuhnya, termasuk orang yang mengusahakannya menjadi khalifah. Disusunlah sikap bergerilya untuk membunuh mereka. Dibuat pulalah doktrin teologi tentang dosa besar pada point h dan k, akibat doktrinnya itulah khawarij harus menanggung akibatnya yaitu dikejar dan ditumpas pemerintah. Orang yang mempunyai prinsip khawarij ini sering menggunakan cara kekerasan dalam menyalurkan pendapatnya. Sejarah mengatakan bahwa kekerasan memegang peranan penting bagi khawarij ini.
            Doktrin selanjutnya yakni dari poin j sampai o dapat dikategorikan sebagai doktin teologis sosial. Doktrin ini memperlihatkan keshalehan asli kelompok khawarij sehingga sebagian pengamat menganggap doktrin ini lebih mirip dengan doktrin mu’tazilah.
2.        Perkembangan khawarij
       Khawarij terpecah menjadi beberapa subsekte, diantaranya:
a.       Al-Muhakkimah
Para pemimpin subsekte ini diantaranya ialah ‘Abdullah Ibnu Al-Kawwa’, ‘Attab Ibn Al-A’war, ‘Abdullah Ibn Wahab Al-Rasibi, ‘Urwah Ibn Jarir, Yazid Ibn ‘AshimAl-Muharibi, dan Hurqush Ibn Zuhair Al-Bajali yang dikenal sebagai Dzu Al-Tsudayyah. Penganut aliran ini adalah kelompok yang berkumpul Harurah dekat Kufah dan melawan Ali pada waktu arbitrasi.
b.      Al-Azariqah
Golongan ini ialah para pengikut Abu Rasyid Nafi Ibn Al-azraq.[4] Mereka yang menemani dari Basrah ke Ahwaz dan mereka menaklukkannya bersama kota-kotanya. Gubernur-gubernur di daerah ini mereka bunuh. Ini terjadi pada masa pemerintahan Abdullah ibn Zubair.
c.       An-Najdat
Golongan ini dipimpin oleh Najdat ibn ‘Amir Al-hanafi. Pada awalnya, Najdat dan kelompoknya meninggalkan yamamah untuk bergabung dengan kelompok Azariqah yang dipimpin oleh Nafi’, akan tetapi ditengah perjalanan, mereka bertemu dengan Abu Fudaik dan ‘Athiyyah ibn Al-Aswad Al-hanafi yang tidak suka dan tidak setuju akan Nafi’, dan pada akhirnya mereka berbai’at pada Najdah.
d.      Al-Baihasiyyah
Golongan ini adalah para pengikut Abu Baihas A-Haisyam ibn Jabir yang berasal dari Bani sa’d ibn Dhuhaibah.
e.       Al-Ajaridah
Abdul Karim ibn Ajrad adalah pemimpin kelompok ini. Golongan ini memiliki pendapat yang sama dengan golongan Najdat.
f.       Ats-tsa’alibah
Golongan ini ialah para pengikut Tsa’alabah ibn ‘Amir. Pada awalnya, Tsa’alabah bergabung dengan Abd Karim Ibn ‘Ajrad. Akan tetapi, setelah berbeda pendapat tentang persoalan anak-anak, ‘Ajaridah memisahkan diri.
g.      Al-Ibadiyyah
‘Abdullah bin Ibadah adalah pimpinan golongan ini. Keompok inilah yang melakukan pemberontakan di Tabala pada masa pemerintahan Marwan. Golongan terpecah menjadi beberapa kelompok karena disebabkan oleh perbedaan pendapat dikalangan mereka. Kelompok-kelompok tersebut diantaranya Hafshiyyah, Haritsiyyah, dan Yazidiyyah.
h.      As-sufriyah
Golongan ini ialah pengikut Ziyad Ibn Al-Ashfar. Golongan ini sangat berbeda dengan kelompok Azariqah dah ibadiyyah.
       Semua subsekte itu membicarakan persoalan hukum bagi orang yang berbuat dosa besar, apakah ia masih dianggap mukmin atau telah menjadi kafir. Tampaknya doktrin teologi ini masih tetap menjadi primadona dalam pemikiran mereka, sedangkan doktrin-doktrin lainnya hanya pelengkap saja. Sayangnya, pemikiran subsekte ini lebih bersifat praktis daripada teoritis. Sehingga kriteria mukmin atau kafirnya seseorang menjadi tidak jelas. Hal ini menyebabkan seseorang dapat disebut mukmin dan pada waktu yang bersamaan disebut kafir.
       Semua aliran yang bersifat radikal pada perkembangan lebih lanjut dikategorikan sebagai aliran khawarij. Selama di dalamnya terdapat indikasi doktrin yang identik dengan aliran ini. Berkenaan dengan ini, harun nasution mengidentifikasi beberapa indikasi aliran yang dapat dikategorikan sebagai aliran khawarij, yaitu sebagai berikut:
a.      Mudah mengkafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka, walaupun orang itu penganut agama islam.
b.      Islam yang benar adalah Islam yang mereka fahami dan amalkan, sedangkan Islam sebagaimana difahami  dan diamalkan golongan lain tidak benar.
c.      Orang-orang Islam yang tersesat dan menjadi kafir perlu dibawa kembali ke Islam yang sebenarnya, yaitu Islam seperti yang mereka fahami dan amalkan.
d.     Karena pemerintahan dan ulama yang tidak sefaham dengan mereka adalah sesat, maka mereka memilih imam dari golongan mereka sendiri, yakni imam dalam arti pemuka agama dan pemuka pemerintahan.
e.      Mereka bersifat fanatik dalam faham dan tidak segan-segan menggunakan dan membunuh untuk mencapai tujuan mereka.[5]

B.       MURJIAH
1.      Latar belakang kemunculan
Kata Murji’ah berasal dari bahasa arab irja’ atau raja’a yang berarti penundaan, penangguhan atau pengharapan, yakni memberi harapan bagi pelaaku dosa bersar untuk mendapat ampunan di hari kiamat kelak.
Sedangkan mengenai asal-usul kemunculan murjia’ah, terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan bahwa gagasan irja’ dicetuskan oleh para sahabat untuk memelihara persatuan dan kesatuan umat islam dari konflik pertikaian politik juga untuk menghindari sekretarianisme. Pendapat yang lain mengatakan bahwa irja’ pertama kali dicetus oleh cucu Ali bin Abi Thalibi yaitu Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyyah sekitar tahun 659. Pada 20 tahun stelah kematian Mu’awiyah Al-mukhtar membawa paham Syi;ah ke kufah sedangkan Ibn Zubair mengklaim kehklalifahan di Makka. Merespon kejadian tersebut muncullah gagasan irja’ atau penangguhan. Sedangkan pendapat yang terakhir mengatakan bahwa murjiah adalah golongan dari para sahabat yang menentang gagasan atau keyakinan Khawarij yang mengatakan bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, karena tidak ada yang dapat menghakimi kecuali Allah, dan pelaku tahkim tadi disebut kafir. Maka dari itu, muncullah kelompok murji;ah yang mengatakan bahwa orang tersebut tidak kafir, tetap mukmin, akan tetapi dosanya diserahkan pada Allah.
2.      Doktrin-doktrin murji’ah
Ajaran murjiah pada dasarnya terimplementasi dari asal kata namanya (irja’), baik dari segi politik maupun teologis. Dalam ranah politik, golongan murjiah terkenal sebagai golongan yang bungkam, tidak ikut campur masalah politik, hanya diam. Sedangkan di bidang teologi, murjiah lagi-lagi mengembangkan teori irja’nya dalam menghadapi persoalan ataupun perselisihan telogis pada masa itu sehingga mencakup masalah iman, kufur, dosa besar dan ringan, pengampunan atas dosa besar, dan lain-lain.
      Dalam hal itni, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut:
A.    Penangguhan kepuutusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
B.     Penangguhan Ali untuk menduduki rangking ke empat dalam susunan khalifah ar-Rasyidun
C.     Memberi harapan bagi orang yang berdosa besar untuk mendapatkan ampunan Allah.
D.    Doktrin-doktrin murjiah menyerupai pengajaran madzhab para skeptis, empiris dan kalangan Helenis.[6]
Menurut Abu a’la Al-Maududi pokok doktrin Murjiah ialah:
1.      Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan amal atau perbuatan bukanlah merupakan sebuah keharusan. Jadi, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perkara yang fardhu dan melakukan dosa besar.
2.      Dasar keselamatan hanyalah iman. Jadi maksiyat bukanlah mudharat. Hanya saja, untuk mendapatkan ampunan manusia harus menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan beriman.

3.      Sekte-sekte aliran Murji’ah
Penyebab munculnya sekte-sekta dalam aliran murji’ah ialah perbedaan pendapat dikalangan murji’ah itu sendiri. Sekte-sekte itu ialah:
a.       Murji’ah Khawarij
b.      Murji’ah Jabariyah
c.       Murji’ah Qadariyah
d.      Murji’ah Murni
Sedangkan menurut Harun Nasution, Murji’ah terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim. Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafirdan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang mereka lakukan, dan ada kemungkinan tuhan mengampuni dosanya sehingga tidak akan dimasukkan ke neraka sama sekali.[7]
Yang termasuk dalam Murji’ah ekstrim ialah Jahmiyah, As-shalihiyah, Al-yunusiyyah, Al-Ubaudah, dan Al-Hasaniyyah.










JABARIYAH DAN QADARIYAH
1.      JABARIYAH
A.    Asal Usul Aliran Jabariyah
Kata jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam al-munjid dijelaskan bahwa jabara berarti memaksa. Seadngkan Al-Syahrastani mengartikan paham jabar dalam arti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhya, yakni segala sesuatu disandarkan kepada Allah semata. Dalam bahasa inggris jabarariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu perbuatan manusia telah ditentukan oleh qadha’dan qadar Tuhan.
Kemunculan pola pikir jabariyah merurut ahli geokultural arab dapat juga disebabkan oleh lingkungan arab yang panas, kering dan gersang, sehingga timbullah sifat penyerahan bangsa Arab kepada alam. Itu disebabkan karena mereka tidak bisa mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran hidup. Hal ini lah yang membawa mereka pada sikap fatalism.
Faham jabariyah  diperkenalkan pertama kali oleh Ja’ad bin dirham yang kemudian disebar luaskan oleh Jahm bin Shafwan dari khurasan. Sebenarnya bibit paham jabariyah tekah muncul sejak awal periode islam, namun al-jabar sebagai pola pikir, aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan sejak masa khalifah Bani Umayyah oleh dua tokoh yang telah disebutkan di atas.[8]

B.       Tokoh- tokoh Jabariyah dan Doktrin-doktrinnya
Al-Syahrastani dalam karangannya Al-Milal Wan Nihal mengemukakan bahwa ada dua kelompok utama jabariyah,[9] yaitu:
1.      Jabariyah Murni yang menganggap manusia tidak memiliki kekuasaan sama sekali untuk berbuat.
2.      Jabariyah Moderat yang mengakiu bahwa manusia memiliki kekuasaaan, tetapi tetap mempertahankan bahwa ini merupakan kekuasaan yang tidak efektif.
Diantara pemuka jabariyah ekstrim adalah:
a.       Jahm bin Shafwan
Nama lengkapnya ialah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Beliau lahir di khurasan, dan bertempat tinggal di kufah. Ia menjabat sebagai sekertaris Haris bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintahan bani Umayyah di khurasan, ia lincah dan cerdik. Oleh karena itu ia dibunuh secara politisi, tidak ada kaitannya dengan agama. Diantara doktri-doktrinnya ialah:
1.      Manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mmempunyai kuasa, tidak mempunyai pilihan dan tiak mempunyai daya.
2.      Surga neraka tidak kekel. Tidak ada yang kekal selain Allah.
3.      Iman ialah ma’rifat dan membenarkan dalam hati. Pendapatnya sejalan dengan pendapat kaum Murji’ah.
4.      Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak sama dengan apapun, maka dari itu Allah tidak dapat dilihat.

b.      Ja’d bin Dirham
Ja’d adalah seorang Maulana bani Hakim yan tinggal di damaskus. Ia disbesarkan ditengah orang kristen yang gemar membicarakan teologi. Awalnya ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan bani Umayyah, namun setelah pikirannya yang kontroversional ditolak, ia kemudian lari ke kufah dan bertemu Jahm, lalu mereka mengembangkan pemikirannya dan disebarluaskan.
Doktrin Ja’d tak  jauh berbeda dari doktrin Jahm, yaitu sebagai berikut:
1.      Alqur’an itu adalah makhluk. Olehkarena itu ia baru, tidak qadim.
2.      Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk.
3.      Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.

Berbeda dari paham jabariyah ekstrim, paham jabariyah moderat berpendapat bahwa manusia mempunyai bagian di dalam perbuatannya, baik atau buruknya. Memang tuhan yang menciptakan perbuatan manusia, akan tetapi manusia mempunyai usaha yang ddisebut kasb. Yang termasuk tokoh jabariyah moderat ialah:
a.       An-Najjar
Nama lengkapnya ialah Husain bin Muhammad. Para pengikutnya disebut An-najjariyah atau Al-Husainiyah. Diantara pendapat-pendapatnya ialah[10]:
1.      Tuhan menciptakan perbuatan manusia, akan tetapi manusia memiliki bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan.
2.      Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat.

b.      Adh-Dhirar
Nama lengkapnya ialah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tetang manusia tak jauh berbeda dengan an-najjar, yakni manusia bukanlah wayang yang digerakkan dalang,  akan tetapi manusia memiliki kasab atau usaha dalam melakukan perbuatannya. Mengenai masalah ru’yat Tuhan di akhirat ia juga berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melelui indera ke enam. Ia juga berpendapat  bahwa hujjah yang dapat diterima setelah nabi adalah Ijtihad. Ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.
2.    QADARIYAH

A.       Asal Usul Aliran Qadariyah

Menurut bahasa qadara berarti kemampuan atau kekuatan. Sedangkan menurutpengertian terminologi qadariyah berarti suatu aliran yang percaya bahwa manusia tidak diintervasi oleh Tuhan. Artinya manusia berkuasa atas perbuatannya sendiri. Manusia adalah pencipta bagi semua perbuatannya. Qadriyah dalam istilah inggris dapat disebut free will atau free act.[11]
Kemunculan aliran ini tak dapat dipastikan secara tepat kapan waktunya. Namun menurut para ahli, faham ini diperkenalkan pertama kali oleh Ma’bad al-Juhaini. Ma’bad al-Juhaini dan temannya Ghailan al-Dimasyq mengambil paham ini dari seorang kristen yang masuk islam di Irak. Ma’bad adalah seorang yang baik. Akan tetapi ia ikut memihak pada gubernur sijistan dalam menentang kekuaaan bani Umayyah dan ia terbunuh balam pertempuran dengan al-Hajjaj pada tahun 80H.
Setelah Ma’bad meninggal, Ghailan lah yang meneruskan perjuangan Ma’bad. Ia yang kemudian menyebarkan paham Qadariyah di Damaskus pada masa khalifah Umar bin abdul Aziz. Akan tetaip setelah masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik, ia dijatuhi hukuman mati. Namun sebelum hukuman itu dilaksanakan, diadakan perdebatan antara ghailan dah awza’i yang dihadiri oleh khalifah Hisyam bin Abdul Malik sendiri. Dalam debatnya Ghailan terus bersikukuh mempertahankan keyakinanya bahwa manusia bebas memilih perbuatannya Sendiri. Baik atau buruknya perbuatan seseorang itu memang keinginannya sendiri, tak ada campur tangan Tuhan.
Faham ini mendapat tentangan dan kecaman yang amat besar dari umat islam ketika itu. Ada dua alasan mengapa aliran itu ditentang.[12]
Pertama karena bangsa arab hidup di daerah yang kering yang gersang, dan mereka sudah sepenuhnya menyerah pada keadaan yang tak bisa mereka rubah. Sifat fatalism muncul dalam diri mereka. Oleh karena itu mereka menolah Qadariyah.
Kedua  karena paham qadariyah adalah free will atau free act, kemudian paham itu oleh pemerintah dianggap sebgai paham yang dinamis dan daya kritis rakyat. Olehkarena itu para penguasa menolak ajaran itu karena mereka khawatir pada akhirnya paham itu dapat menggulingkan kekuasaannya.

B.       Doktrin-doktrin Qadariyah

Seperti yang telah diuraikan diatas, paham Qadariyah menyatakan bahwamanusia memiliki kekuasaan atas perbuatan-perbuatannya. Segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri., baik berupa perbuatan baik atau buruk. Manusia berhak memperoleh pahala atas perbuatan baiknya dan hukuman atas perbuatan buruknya.
Sedangkan takdir menurut Qadariyah adalah ketentuan Allah yang yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya sejak zaman azali, bukan seperti pengertian takdir menurut bangsa Arab pada saat itu bahwa takdir dan nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu, mereka hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan dalam kehudupannya.[13]
Dengan alasan inilah Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatannya kepada Allah.
Diantara dalil al-Qur’an yang mereka pakai ialah:

È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4 !$¯RÎ) $tRôtGôãr& tûüÏJÎ=»©à=Ï9 #·$tR xÞ%tnr& öNÍkÍ5 $ygè%ÏŠ#uŽß  4 bÎ)ur (#qèVŠÉótGó¡o (#qèO$tóム&ä!$yJÎ/ È@ôgßJø9$%x. Èqô±o onqã_âqø9$# 4 š[ø©Î/ Ü>#uŽ¤³9$# ôNuä!$yur $¸)xÿs?öãB ÇËÒÈ  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar